Khianat

Haniifah Rihhadatul'aisy
1 min readJul 17, 2022

--

Entah celaka atau malapetaka, nuranimu sekaan diberangus pikiran sendiri. Silogisme tua yang kau junjung dengan bangga, kini laksana hangus dibakar godaan dunia. Konon katanya, engkau manusia bertutur anggun, acap kali mengundang duka.

Bak air laut yang enggan singgah lama di pesisir, demikian jua ribuan ujarmu. Berkesan, meski tiada lama lagi, kau ‘kan lari ke ujung dunia. Tiada mampu kutempuh. Dayaku telah mati, tenggelam dalam lautan celoteh manismu.

Bukankah itu inginmu, merajut kasih yang kau puja-puja denganku, hingga senja tiada lagi merah merekah? Atau jua, berbagi sayang dengan ragaku, hingga garis tanganmu kerut menua? Kau khianat, kasih. Kau hilang akal!

Aku ingin mengadu, pada ribuan daun yang rela menguning tua, demi setia pada ranting yang menjadikannya hidup. Pun aku ingin berkeluh, pada rintik hujan yang tak ayal turun, menetapi janji pada hantaran bumi. Mengapa aku, insan penuh hati nurani, acap kali mati dikhianati?

Sedasawarsa lalu, harapku akan cinta abadi membumbung tinggi, lebih tinggi daripada yakinku terhadap takdir. Tak ayal mimpiku meredup, demi menerangi secercah harap yang kuyakini bertahan hingga nanti.

Bila laraku jadi bahagiamu, maka ‘kan kuakhiri bendungan sesal yang kian singgah menghantui. Bila kasihku tiada lagi punya makna, ‘kan kuredupkan cahaya api pengoraban yang pernah berkobar seram.

Bersamamu, aku pernah bersimpuh, memohon taklimat Tuhan agar aku dapat terus mengiringi langkahmu. Pun bersamamu, aku pernah tertatih, meratapi bahagia yang kutebak ‘kan berakhir tiada lama lagi.

Kasih, ‘kan aku akhiri lembar kisah ini. ‘Kan kuputus buhul ikatan ini. Kuat kuyakini, aku akan menemui bahagiaku sendiri. Sedang engkau, ‘kan menemukan kasih yang kuharap tiada lagi membuatmu berpaling.

Aku pamit.

--

--

Haniifah Rihhadatul'aisy

There are two titles I could put on my own description: a jack of all trades, master of none; or a student of life. I do prefer the second.