Seruan Sendu

Haniifah Rihhadatul'aisy
1 min readOct 15, 2023

--

Langit menderu di penghujung senja, melahirkan angin kencang yang tega mengoyak ranting pepohonan. Pada sela-sela alunan dersik, rintik air kian jatuh, seakan telah lama merindu bumi.

Kendati demikian, seorang pria tua berbaju hitam terus melangkah. Sepasang sepatu lusuh yang dibelinya tujuh tahun lalu, kini basah digenangi air hujan. Ia hanya ingin kembali dan merebah lelah, lekas bersua dengan istri penghibur hatinya.

Sepanjang perjalanan, ia kerap merenung, mengunjungi memori dua puluh tahun lalu yang selalu terkenang, seorang anak laki-laki yang selalu menangis ingin bermain hujan, anak laki-laki yang sangat ia sayangi. Tanpa disadari, air matanya pun menggenang, membendung seutas rindu yang tak lekas terobati.

Sesampainya di rumah, pria tua itu lekas meraih ponsel Nokia lama miliknya, dengan bajunya yang masih basah bermandikan hujan. Jemarinya memencet satu persatu tombol angka, menelepon anak laki-laki kesayangannya.

“Assalamu…”

“Pak, Bapak jangan telfon dulu, saya sedang sibuk di kantor, Pak,” sang anak memotong perbincangan, kesal.

“Maaf, bapak cuman rindu. Nak, bisa lekas pulang?” serunya, sendu.

Telepon pun dimatikan sepihak oleh sang anak. Pria tua itu tak kuasa membendung tangis. Istrinya yang telah renta perlahan menghampiri, merengkuh tubuh basah pria tua itu, menenangkan.

Seruan sendu itu, nyatanya seruan terakhir, sebelum pria tua itu akhirnya berpulang.

--

--

Haniifah Rihhadatul'aisy

There are two titles I could put on my own description: a jack of all trades, master of none; or a student of life. I do prefer the second.