Geladak
Senja itu, kita bercengkrama di sudut geladak. Matahari perlahan pamit, desir pun asik merayu, membiarkan dua insan saling bertamu di tengah kelumit sisa pilu. Kuat kuingat, pendar matamu menyorot ke Barat, sedang aku menengadah, merebah segelintir resah.
Kita memang dua insan yang pernah dilanda duka. Kendati demikian, kita juga insan yang sejatinya tangguh mencinta. Tenangmu menyelimuti relungku, sedang ramaiku melukis bentangan kisah harimu. Kita pun, sepakat bersatu dan meramu tuju.
Kau pantang menyerah, menyelamiku hingga penghujung palung lukaku. Sedang aku tiada gentar, menyelinap ke bentengan ragu yang telah kaubangun megah-megah. Kita saling menaruh harap, dan berjanji untuk setia menetap.
Kita berawal dari selembar prolog. Bukan berarti, kita pun mencintai laman epilog. Kuharap, lembar demi lembar buku ini tak cepat lekang disapu waktu. ‘Kan kupupuk hasta demi hasta rindu, dan kutuai buah asih yang telah matang didewasakan waktu.
Bersamamu, aku memanjat doa, sekiranya kisah kita tak lantas menemui ujung.